Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perbedaan Naskah dan Realitas Sosial

Perbedaan naskah

 Perbedaan Naskah dan Realitas Sosial

Gus sakdilah atau lebih akrab di sebut gus dila tidak henti-hentinya membuahkan karya pemikiran yang original 

Seperti hari contohnya mengomentari sebuah artikel prabu Siliwangi yidak hanya satu gus dila memaparkan komentarnya yang sangat unik membacanya sangay enak fam penuh kejutan dengan pemilihan katanya tak ingin merusak narasi dan lain sebagianya saya satria sajikan sebagai berikut:

...



Ada perbedaan hasil baca antara naskah-naskah peninggalan dan realitas masyarakat. Itu pada Bumi Sunda. Perbedaan hasil dari cara baca tersebut akhirnya menimbulkan pula perbedaan persepsi.


Realitas budaya masyarakat di suatu tempat memiliki ciri khas tertentu. Pada masanya hukum dan wilayah sangat berbeda dengan kenyataan kekinian. Persepsi dan asumsi kekinian yang sudah terstruktur dan sistematis dipaksakan sedemikian rupa untuk membentuk realitas masa lalu. Tidak ada kecurigaan atas kuasa sebuah teks. Sebagai buah karya masa lalu, teks sering dipandang sakral dan pasti kebenarannya.


Sementara realitas yang cair pada masa lalu sering terkonstruksi ala pemetaan naskah. Hubungan atas bawah (kasta) adalah fenomena yang sering muncul. Memang, William Marsden memberi informasi kondisi masyarakat masa lalu identik dengan karakter hewan yang pernah ada pada waktu itu. Karakter seekor harimau adalah memiliki wilayah rimba yang dikuasai olehnya. Ia akan "mengencingi" seputaran tempat tinggalnya yang tak terganggukan. Tidak ada yang boleh memasuki wilayah kekuasaannya.


Harimau (Maung) menjadi ciri budaya kepemimpinan di tatar Sunda. Hanya, harimau itu tentu tidak satu. Ada banyak harimau. Di dalam Arok Dedes, Pramoedya Ananta Toer (PAT) mempersonifikasikan Arok laksana harimau Jawa. Cerita sastra demikian, tidak lepas dari realitas budaya masyarakat yang ada  tanpa ada intervensi ide-ide kekinian yang mengkonstruksikannya.


Di dalam naskah kuna, kekuasaan sering digambarkan tunggal. Tidak ada lawan atau kerabat sebagai "partner". Kekuasaan tunggal yang sering pula disebut "Tohaan" atau Tuhan. Tidak ada realitas lain yang hidup. Tidak ada realitas yang membentuknya. Seperti kata "Pakwan" atau Pakuwan dalam naskah Sunda sering digambarkan kekuasaan tunggal. Pakuwan sebagai ibukota kerajaan. Hal ini bertolak belakang dengan realitas masyarakat yang menggambarkan Pakuwan adalah wilayah kekuasaan seorang "kuwu", jabatan setingkat kampung atau komunitas. Antar Kuwu melakukan perserikatan tanpa ada hubungan atas bawah. Hubungan yang menciptakan harmonisasi, meski tidak jarang juga terjadi konflik. Tapi, itu biasa dalam sejarah.


Kebumen, 4 Mei 2021.

Post a Comment for "Perbedaan Naskah dan Realitas Sosial"