Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seni dan Toleransi dalam Tarekat Chistiyah

tarekat chistiyah

 Seni dan Toleransi dalam Tarekat Chistiyah



Kekaguman saya tidak pernah surut membaca karya karya gus dila seorang guru sekaligus teman yang di pertemukan lewat media sosial dan menjalin keakraban di dunia nyata dengan bersilaturahmi di kebumen tempat kelahiran istri 


Saya kira tidak perlu panjang lebar lagi 

Satria akan sebarkan tulisanya dengan harapan manfaatnya terasa lebih luas dan penulisnya sendiri mendapat kelayakan penghormatan maupun penghargaan 

Ini dia  karya beliau yang saya anbil dari statusnya di media sosial

.....


Sudah tidak zaman lagi untuk membeda-bedakan tarekat, beserta kemungkinan-kemungkinan “nyeleneh” yang ditimbulkan olehnya. Karena, penilitian dan riset mendalam tentang ilmu tasawuf dan keragaman budaya dan latar belakang umat Islam yang kaya telah begitu melimpah. Sehingga bisa dipahami: tarekat sebagai ilmu. Meskipun rahasia-rahasia suatu tarekat coba disembunyikan oleh kalangan umat Islam sendiri, justeru peneliti-peneliti dari luar sudah banyak yang memberikan elaborasi dan informasi pengetahuan tentangnya. Terasa lucu, jika umat Islam justeru mengenal tarekat dari orang luar (out sider) yang seharusnya dapat menjadi pengetahuan umum dan kalangan awam. Hanya saja, persoalan rahasia adalah pribadi antara si pelaku dan Tuhannya. Ibarat sebuah cerita hanya bisa dinikmati sebatas tahu, bukan sebagai pengalaman pribadi, susah senangnya. Maka, untuk mengenal tarekat lebih khusus dan mendalam, harus turut berpartisipasi ke dalamnya. Tidak dalam kerangka tahu, melainkan merasakan kehadiran ilahiah ke dalam setiap aktivitas, penghayatan, dan fenomena kehidupan sehari-hari.


Bincang-bincang tarekat dengan berbagai macam variannya telah mengantarkan seseorang mengenal begitu banyak penghayatan, perbedaan, dan kontemplasi. Tidak bisa dipandang hanya sebelah mata. Tarekat memang jalan untuk mengenal pada Sang Pencipta, mulai dari aktivitas sederhana seperti sholat, wirid, dan zikir hingga pada tahap menahan diri secara ekstrim untuk menghindari perkara-perkara negatif dan mengandung dosa dan maksiat. Namun, setelah melampaui jalan tarekat tersebut, seseorang yang telah mencapai puncak kearifannya akan meninggalkan jalan itu. Tidak lagi dikenal tarekatnya apa. Dengan demikian, bincang-bincang ilmiah tentang tarekat menjadi menarik sebatas tahu dan mengetahui. Dan, tarekat chisytiyah adalah salah satunya.


India sebagai wilayah yang menjadi sentra budaya dunia telah memberi banyak inspirasi bagi pengetahuan dan pengalaman keruhanian agama-agama besar. Meskipun setiap agama memiliki garis-garis tersendiri seperti kitab suci, ketauhidan, dan kerasulan. Namun, sedikit banyak, diakui atau tidak, telah memberi pemahaman dan pengayaan pengetahuan bagi umat manusia di dunia. Pada aspek pemahaman dan pengayaan pengetahuan ini, seorang pelaku tarekat akan berkembang dengan sendirinya sesuai dengan realitas yang dihadapi olehnya.


Tarekat Chistiyah lahir di India yang didirikan oleh Khwaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Chisyty, selanjutnya ditulis Chisyty. Karena, kesalehannya, ia juga dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin), Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja al-Buzurg (Imam Agung), Atha’ al-Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja al-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian lain menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar, kota di Sistan, pinggiran Khurasan.


Masa muda Chisyty dihabiskan di Sanjar, India. Ia murid sekaligus pengganti Khwaja Utsman Haruni. Setelah berbaiat, selama 20 tahun Chisytyti hidup bersama Syekh Najmuddin al-Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin al-Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf al-Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir al-Jilani dibuktikan dari berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India.


Tarekat Chisytiyyah terbilang sangat ketat dalam menerapkan ritual-ritual dan olah jiwa. Sebagaimana seorang Syekh memberikan perintah kepada muridnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian, mengucapkan istighfar dan "durud" sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran surat Al-Nisa 103; “…Maka ingatlah Allah manakala kamu berdiri, duduk, dan berbaring.…”


Tarekat Christy menerapkan pola ritual yang demikian ketat bisa dibilang terpengaruh dari praktek-praktek Yogi yang berkembang di India. Misalnya, para Syekh menganjurkan cara zikir dengan duduk bersila, dan menghadap kiblat. Murid tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangan di atas lutut. Jika duduk bersila, murid harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini bisa membuat hati terasa hangat dan mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jahr (keras) atau khafi (diam).


Dalam praktek pribadi yang mendasar, seorang Chisyty harus menjalani lima praktek dasar agar terhubung kepada Allah Ta'ala: Dzikir-i Ḏjahr, membacakan nama-nama Allāh keras, duduk dalam posisi yang ditentukan pada waktu yang ditentukan; Dzikir Al-Ḵhafī, membacakan nama-nama Allāh diam-diam; Fas al-Anfās, mengatur nafas; Muraqabah, penyerapan dalam kontemplasi mistis; Cilla, empat puluh hari mengurung diri dalam sudut kesepian atau penjara untuk berdoa dan kontemplasi


Pelaku tarekat Christy akan menempati posisi puncak sebagai Syekh Kalimullah. Ia disebut "khalihah". Di antara yang menempati posisi Syekh Kalimullah tersebut adalah Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720 M.


Di samping melatih diri dengan wirid, zikir, dan kontemplasi, tarekat Chisytiyah juga memperbolehkan beraktivitas selayak manusia biasa. Salah satu praktek yang diterapkan tarekat Chishtiyyah adalah menanamkan cinta kepada Allah Ta'ala ke dalam hati nurani melalui ‘Sema’ atau majelis musik ruhani. Musik menjadi media implementasi mistik bagi tarekat Chisytiyah sehingga dapat diterima di belahan Amerika yang hidup serba materi.


Gus sakdilah

Kebumen, 1 Juni 2021.

Post a Comment for " Seni dan Toleransi dalam Tarekat Chistiyah"